Jumat, 16 Maret 2012


IT PARADOX

Tidak sedikit perusahaan yang mengalami kegagalan dalam implementasi teknologi informasi (TI) atau sistem teknologi informasi (STI), termasuk juga yang berkaitan dengan sistem informasi akuntansi. Ada beberapa penyebab yang dapat ditelusuri. Secara garis besar ada yang bersifat teknis dan non-teknis. Sisi teknis berkaitan dengan teknologi yang berada di belakang sistem tersebut, sementara sisi non teknis berada pada aspek keperilakuan dan managerial dalam penggunaan sistem tersebut. Tulisan ini akan memberikan gambaran mengenai aspek managerial yang mempengaruhi kesuksesan penerapan sistem teknologi informasi.
Keller (2004) dalam bukunya yang berjudul ‘Technology Paradise Lost: Why Companies Will Spend Less to Get More from Information Technology’ mengungkapkan secara jelas bagaimana peran STI dalam korporasi modern saat ini, terutama untuk mentrasformasikan investasi yang telah dilakukan dalam bidang STI yang tergolong besar agar menghasilkan nilai dan profitabilitas bagi perusahaan. Investasi-invetasi di bidang STI seringkali tidak diikuti dengan hasil yang maksimal bagi perusahaan, baik dari sisi produktivitas, profitabilitas maupun nilai yang akan diterima oleh suatu entitas bisnis. Berkaitan dengan hal ini muncul terminologi productivity paradox. Istilah productivity paradox pertama kali dikemukakan oleh Steven Roach dalam penelitiannya yang berjudul America’s Technology Dilemma: A Profile of the Information Economy yang dipublikasikan pada tanggal 22 April 1987 (Brynjolfsson & Hitt 1998).  Kesimpulan mengenai productivity paradox diperoleh karena adanya peningkatan yang sangat besar dalam teknologi komputasi, namun demikian tidak diimbangi dengan imbas yang dihasilkan dari sisi kinerja ekonomi, khususnya untuk sektor ekonomi yang didominasi oleh “pekerja informasi”. (Brynjolfsson & Hitt 1998).

Perdebatan panjang mengenai productivity paradox bermunculan, ada yang mendukung dan ada juga yang menentang. Argumen yang mendukung dikemukakan oleh Carr (2003) yang menyatakan bahwa investasi dalam bidang teknologi seringkali tidak sejalan dengan hasil yang dapat diperoleh. STI tidak lagi menjadi sesuatu yang strategis bagi perusahaan dan telah menjadi suatu komoditas. Sejumlah survey dan penelitian menemukan bahwa productivity paradox tidak sepenuhnya benar dan tidak juga sepenuhnya salah. Beberapa sektor produksi ada yang mengalami peningkatan dalam produktivitas dalam kaitannya dengan penggunaan STI, namun ada juga yang tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Hasil survey yang dilakukan oleh Federal Reserve Board, Information Technology and Productivity: Where Are We Now and Where Are We Going, pada tahun 2002 menemukan bahwa peningkatan produktivitas hanya terjadi pada beberapa sektor industri seperti industri perakitan komputer, sekuritas (keuangan), pabrikan semikonduktor, telekomunikasi, dan grosir. Produktivitas terbesar yang dicapai oleh industri-industri tersebut berada dalam rentang waktu 6 tahun sejak tahun 1995 hingga 2000 (Keller 2004). Argumen yang kontra productivity paradox datang dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2003 yang menganjurkan investasi besar-besaran dalam TI karena akan berdampak pada produktivitas dan pertumbuhan GDP seperti yang telah dialami oleh Amerika. U.S. Department of Commerce dalam laporannya Digital Economy 2002, melaporkan bahwa pergerakan dan pertumbuhan dalam ekonomi Amerika sangat erat kaitannya dengan pengeluaran dan penggunaan STI. Salah satunya adalah penciptaan bidang-bidang kerja yang bergaji tinggi yang berhubungan dengan penyediaan jasa dan penjualan STI. (Keller 2004). Survey yang dilakukan oleh OECD dan U.S. Department of Commerce ini melihat imbas STI secara lebih luas dalam konteks negara dan bukan pada tingkatan perusahaan. Jika dilihat secara lebih luas, dapat disimpulkan STI  memiliki imbas yang besar dalam produktivitas perekonomian saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar